Dewan Pers Kecam Intimidasi ke Penulis Kritik Jenderal di Jabatan Sipil, Ini Tanggapan Lengkapnya


 

Dtik Informasi, Pasuruan || Dewan Pers akhirnya merespons dugaan intimidasi terhadap Yogi Firmansyah, penulis opini di media daring detik.com. Lembaga tersebut mengecam keras adanya tekanan terhadap Yogi hingga tulisannya akhirnya dihapus dari media tersebut.

Yogi, yang diketahui merupakan ASN di Kementerian Keuangan dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Indonesia, menulis opini berjudul Jenderal Di Jabatan Sipil: Dimana Merit ASN.

Usai tulisan itu terbit, ia mengalami dua insiden: diserempet dan ditabrak oleh pengendara motor. Yogi menduga kejadian itu terkait isi tulisannya yang mengkritisi penempatan jenderal dalam posisi sipil.

Opini tersebut muncul di tengah kontroversi penunjukan Letjen TNI Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea Cukai di Kemenkeu.

Meski belakangan dijelaskan bahwa Djaka telah mengajukan pensiun dini dari militer, kritik terhadap praktik semacam ini terus mencuat.

Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi agar artikel tersebut diturunkan.

Pernyataan ini disampaikan setelah sebelumnya muncul klaim bahwa penurunan artikel disebabkan oleh tekanan dan rekomendasi dari Dewan Pers. Ia menyebut bahwa laporan dari penulis telah diterima dan kini sedang dalam proses verifikasi.

Komaruddin menambahkan bahwa Dewan Pers menjunjung tinggi independensi media, termasuk dalam pengambilan keputusan mengenai pencabutan artikel. Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan tersebut, sekaligus tetap berpegang pada kode etik jurnalistik.

Dewan Pers juga mengingatkan semua pihak agar turut menjaga ruang demokrasi dengan menolak segala bentuk intimidasi atau kekerasan terhadap individu yang menyampaikan pendapat kritis atas kebijakan negara.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga mengutuk keras aksi teror terhadap warga yang menyampaikan pandangan kritis, terutama yang berkaitan dengan peran militer dalam urusan sipil.

Direktur Eksekutif De Jure, Bhatara Ibnu Reza, menyampaikan bahwa dalam negara demokratis yang berlandaskan hukum, kritik adalah hak sah warga negara dan dijamin oleh konstitusi.

Ia menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap warga hanya karena menyampaikan kritik merupakan pelanggaran HAM dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Koalisi juga menggarisbawahi bahwa kasus yang dialami Yogi bukanlah peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola kekerasan sistematis yang mengemuka sejak penolakan terhadap revisi UU TNI mencuat ke publik.

Dalam dua bulan terakhir, mereka mencatat sejumlah bentuk teror terhadap berbagai pihak yang bersuara kritis terhadap keterlibatan militer di ranah sipil, termasuk pengintaian, serangan fisik, hingga peretasan digital.

Koalisi menyebut bahwa sebelum kasus Yogi, intimidasi juga dialami jurnalis Tempo yang menerima kiriman kepala babi dan bangkai tikus, serta ancaman terhadap aktivis HAM seperti Andri Yunus dan Javier, yang sebelumnya menyuarakan protes dalam rapat DPR di Hotel Fairmont.

Teror bahkan menyasar kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) setelah mereka mengungkap adanya rapat rahasia DPR membahas UU TNI. Selain itu, intimidasi juga dialami mahasiswa UII yang menjadi pemohon judicial review UU tersebut di Mahkamah Konstitusi.

Koalisi menyayangkan sikap diam aparat dalam menghadapi pola kekerasan ini. Mereka menilai, tidak adanya penyelidikan yang tuntas dan tindakan hukum menunjukkan lemahnya tanggung jawab negara terhadap perlindungan hak-hak konstitusional warga.

Koalisi berpendapat bahwa rangkaian teror tersebut erat kaitannya dengan sikap masyarakat sipil yang menolak kembalinya praktik dwifungsi militer. Mereka menekankan bahwa kritik terhadap kebijakan seperti revisi UU TNI, Perpres 66/2025, dan penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil, bukanlah bentuk ancaman, melainkan sinyal penting dalam demokrasi yang harus ditanggapi secara bijak—bukan dibungkam. (*)

Baca Juga

dibaca

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama